Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha meminta pejabat publik untuk membedakan kepentingan pribadi dan kepentingan negara. Menurut dia, pejabat publik, harus berpegang pada prinsip etika publik. Sudah sepatutnya etika itu dijunjung tinggi, salah satunya menghindari konflik kepentingan dalam menghasilkan kebijakan.
"Oleh sebab itu pejabat publik harus dapat membedakan kepentingan pribadi dan kepentingan publik," ujarnya, Rabu (15/4/2020). Pernyataan itu disampaikan terkait surat dari Staf Khusus Presiden Andi Taufan Garuda Putra perihal Kerjasama Sebagai Relawan Desa Lawan Covid 19 yang ditujukan kepada camat seluruh Indonesia. Surat bernomor 003/S SKP ATGP/IV/2020, tertanggal 1 April 2020 itu ditembuskan kepada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Dia menjelaskan Andi Taufan berdalih perbuatannya akibat dari birokrasi penyaluran bantuan dan atau hibah dalam menangani Covid 19 yang buruk. Namun, kata dia, hal tersebut tidak serta merta membenarkan perbuatannya karena besarnya dugaan konflik kepentingan. Dia mengingatkan kepada pejabat publik konflik kepentingan tidak hanya diartikan sebagai upaya mendapat keuntungan material semata, tetapi segala hal yang mengarah pada kepentingan diri, keluarga, perusahaan pribadi, hingga partai politik.
Konflik kepentingan, kata Egi, merupakan salah satu pintu masuk korupsi. Selain itu, langkah yang diambil Andi juga mengabaikan keberadaan Kementerian Dalam Negeri. Sebab, tugas melakukan korespondensi dengan seluruh camat yang berada di bawah kepala daerah seharusnya menjadi tanggung jawab instansi pimpinan Tito Karnavian. Atas dasar itu, dia mendesak Andi meminta maaf kepada seluruh camat di Indonesia atas perbuatannya. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga didesak untuk mencopot Andi dari jabatannya sebagaistaf khusus.
"Andi Taufan Garuda Putra harus segera mengirimkan surat permintaan maaf kepada camat di Indonesia terkait dengan langkah yang telah ia lakukan sebelumnya," tambahnya.