Kepala BadanPenelitian dan Pengembangan DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra mengatakan pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi virus corona atau Covid 19 dapat berhasil apabilatiap instansi terkait melepaskan diri dari ego sektoral. Menurutnya semua instansi terkait harus saling berkoordinasi serta berkomunikasi dengan baik sebagai satu kesatuan. Penyerapan anggaran yang masih sangat rendah, seperti stimulus fiskal untuk insentif kesehatan baru terealisasi 7,22 persen setelah empat bulan diputuskan Presiden, menunjukkan para pejabat terkait masih berpola pikir business as usual.
Padahal, situasi sudah krisis saat ini. Penderita Covid 19 di Indonesia sudah mencapai 97 ribu per tanggal 25 Juli ini. Padahal di awal Juni baru menyentuh angka 26 ribu.
Dalam dua bulan, peningkatannya hampir empat kali lipat. "Perlu ketegasan dan keberanian presiden mengevaluasi kinerja para pembantunya," kata Herzaky dalam keterangannya, Senin (27/7/2020). Pernyataan Herzaky tersebut disampaikan dalam diskusi publik Proklamasi Democracy Forum, “Mendamaikan Ekonomi dan Pandemi: New Normal Bukan Back to Normal”, Minggu, 26 Juli 2020 malam.
Dalam diskusi daring yang diselenggarakan Badan Penelitan dan Pengembangan DPP Partai Demokrat ini, Herzaky mengatakan, peningkatan jumlah kasus secara drastis dan melonjaknya kasus harian secara konsisten dalam dua bulan terakhir, menjadi semakin menakutkan jika melihat jumlah tes per satu juta populasi di Indonesia, yang baru di angka 4,973 orang, per 25 Juli 2020. Terkecil dari 24 negara terbanyak penderita covid 19. Belum lagi mencermati indikator ekonomi.
Pertumbuhan kuartal I drop di angka 2,97 persen, terendah sejak 2001. Sedangkan di kuartal II, diprediksi terkontraksi semakin dalam, sehingga menyentuh angka minus 5,08. Ancaman resesi pun semakin nyata.
Presiden, menurut Herzaky, harus berani mengambil langkah tegas, mengganti anggota kabinet jika memang kinerjanya masih tidak sesuai dengan harapan. "Saatnya mengedepankan kepentingan rakyat banyak, dan menepikan konsesi politik sesaat untuk jasa pendukungnya di masa lalu. Karena nyawa rakyat, dan nasib bangsa ini yang menjadi taruhannya," kata Herzaky. Pendapat Herzaky ini diamini Tomi Satryatomo, Pengamat Media, yang memaparkan hasil monitoring percakapan di media sosial dan pemberitaan di media online selama pandemi Covid 19.
Tomi mengatakan, ketegasan kepemimpinan sangatlah diperlukan dalam situasi krisis. Saat pemerintah tampak ragu dan gagap, dia mengatakan di sinilah peluang berkembangnya hoaks dan rumor, mengisi ruang kosong komunikasi yang lemah dari pemerintah. Teguh Santosa, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia pun memberikan pendapatnya terkait sikap pemeintah.
Di saat Wuhan ditutup, misalnya, di saat negara negara Asia Timur menutup diri dari pihak luar di Januari 2020, Indonesia malah berpikir memberikan insentif untuk dunia pariwisata. Saat mengeluarkan Perppu terkait pandemi covid 19, lanjut Teguh, isinya kebanyakan kebijakan tentang ekonomi, bukan kesehatan. Pola pikir pemerintah seperti ini tentu saja mempengaruhi pola pikir masyarakat.
Dr Dian K Nurputra, Ketua Satgas Covid 19 RS Bhayangkara DIY, menjelaskan Indonesia sesungguhnya belum memenuhi persyaratan untuk memasuki dan menerapkan adaptasi kehidupan baru. "Berdasarkan WHO, ada beberapa syarat untuk kita masuk ke new normal. Sebenarnya itu semua kita (Indonesia) belum terpenuhi," katanya. Selain itu, dengan berbagai macam pemberitaan dan cara komunikasi yang keliru, arti new normal pun menjadi bias di masyarakat.
Untuk menekan penyebaran virus corona, menurutnya, isolasi lokal seperti yang dilakukan kota Tegal bisa menjadi solusi. "Dengan demikian, kasus impor bisa dicegah dan terlokalisir. Masyarakat pun harus memahami dan menerapkan protokol kesehatan, seperti jaga jarak tanpa mengenakan masker," katanya.